LIPI : Kebakaran Hutan di Indonesia Kategori Ekosida

ASIATODAY.ID, JAKARTA – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, rusaknya lingkungan, hilangnya nyawa akibat bencana ‘Karhutla tahunan’ yang dialami oleh Indonesia termasuk kabut asap yang kemudian mengganggu wilayah Asia Tenggara dapat dikategorikan sebagai ekosida.

“Ekosida sendiri didefinisikan sebagai kejahatan yang merusak keanekaragaman hayati, rusaknya warisan kultural, hilangnya nyawa manusia, terganggunya mata pencaharian bahkan terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal,” tulis LIPI dikutip dari akun resmi twitternya, di Jakarta Rabu (25/9/2019).

LIPI menuliskan, interaksi tim Ekologi Manusia–Pusat Penelitian Kependudukan LIPI dengan warga Kecamatan Kumpeh, masyarakat adat dan pemerintah daerah di propinsi Jambi menguak bahwa permasalahan mendasar penyebab karhutla sebenarnya lebih tepat ditempatkan berada pada ranah sosial- politik

Oleh sebab itu, mempromosikan aktivitas untuk meninggalkan aktivitas monokultur bagi petani lokal melalui proses insentif-disensentif akan sangat bermanfaat.

“Bagi masyarakat adat, meninggalkan aktivitas monokultur pada saat yang sama akan mengembalikan keanaekaragaman hayati wilayah tinggal mereka, mengembalikan aset kultural, menjaga ketahanan pangan yang kemudian menjaga stabilitas ekonomi, dan meminimalkan risiko pembukaan lahan,” tulis LIPI.

Untuk memahami lebih jelas tentang Ekosida ini, Peneliti Ekologi Manusia di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Intan Adhi Perdana Putri dan Syarifah Aini Dalimunthe, menuangkannya dalam laporan yang sangat komprehenship. Berikut laporannya :

Kotak Hitam bernama Kebakaran Hutan dan Lahan

Akhir Agustus lalu dunia dikejutkan dengan kebakaran hutan yang menghabiskan sebagian hutan hujan tropis Amazon di negara Brazil. Kebakaran itu hampir mencapai perbatasan Bolivia. Data menunjukkan terjadi peningkatan 76% pada periode yang sama di tahun 2018 National Institute for Space Research (INPE). Seluas 45.000 km2 hutan Amazon terbakar. Luasan ini melebihi area yang terbakar di tahun 2018. Kebakaran di hutan Amazon bukan hanya mengejutkan para aktivis lingkungan tapi juga kepala negara yang sedang menghadiri pertemuan G7 di Osaka, Jepang.

Ketika negara-negara di Amerika Latin, Afrika dan Rusia berjuang memadamkan kebakaran hutan, Indonesia juga dalam situasi yang sama. Indonesia mengklaim wilayah hutannya menghadapi ‘musim api’. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2019 diasosiasikan dengan dengan bulan paling kering di tahun ini. Malaysia, Singapura, Filipina dan Thailand bagian selatan tidak luput dari dampak asap kebakaran hutan yang menyebabkan turunnya kualitas udara di wilayah tersebut.

Data yang diterbitkan oleh oleh NASA Fire information for Resource Management System (FIRMS) dengan menggunakan citra satelit Collection 6 MODIS, mencatat lebih dari 35.000 kebakaran tahun 2019 di Indonesia. Sedangkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengeluarkan angka 328.724 hektar lahan yang terbakar hanya dalam rentang waktu singkat Januari hingga Agustus 2019.

Sabtu, 21 September 2019, dunia maya dikejutkan dengan adanya foto-foto dan video langit berwarna merah di Jambi khususnya. Foto dan video tersebut tersebar secara cepat melalui media. Melalui komunikasi dengan warga diperoleh informasi bahwa lokasi tersebut adalah di Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Pada 4 tahun terakhis, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI melakukan studi pada lokasi yang sama khususnya Desa Seponjen dan Desa Mekar Sari.

Luasnya lahan gambut yang terbakar menghasilkan distribusi asap yang mengganggu didalam skala regional Asia Tenggara. Negara tetangga Malaysia menyampaikan indeks polusi udara (Air Pollutan Index/API) mereka mencapai tingkat “Sangat tidak sehat” pada angka 208. Sedangkan di Singapura hingga 16 September lalu, Pollutan Standard Index (PSI) negara itu melebihi angka 100 yang masuk dalam kategori “sangat tidak sehat”. Meskipun tingkat PSI ini masih lebih rendah dibanding dampak karhutla 2015 yang mencapai 341 (mematikan), Singapura mencatat bencana asap tahunan yang mereka terima sebagai bencana tahunan yang terus menerus mengganggu aktivitas warganya.

Ekosida yang Menahun

Bila ditilik lebih dalam, Propinsi Kalimantan Tengah, Jambi dan Sumatera Selatan memiliki jumlah titik api paling banyak. Pada tingkat Kabupaten, Muaro Jambi, Ketapang dan Pulang Pisau adalah tiga kabupaten teratas yang mengalami jumlah titik api paling banyak di Indonesia dalam satu minggu terakhir. Lebih dari itu, Gobal Forest Watch pada periode 15-22 September 2019 terdapat laporan potensi karhutla hingga 75.788 kali.

Pada hari Sabtu 21 September 2019, pukul 15.17 WIB. Khairul, Sekretaris Desa Mekarsari Kecamatan Kumpeh mengkonfirmasi bahwa pada kabut merah tesebut sudah menyelimuti wilayah mereka sejak pagi. Sekretaris Desa melaporkan bahwa sudah tiga minggu terakhir sekolah diliburkan karena kabut asap sudah masuk kategori berbahaya dan beracun.

Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG) melalui akun instgramnya @infobmkg menjelaskan bahwa kabut merah sperti yang dialami warga kecamatan Kumpeh terjadi karena partikel udara (aerosol) yang ada di Muaro Jambi dominan berukuran 0,7 mikrometer atau lebih dan berkonsentrasi tinggi serta penyebaran luas. Perbedaan antara diameter aerosol dengan Panjang gelombang tampak matahari menimbulkan warna merah pada langit. Bila merujuk pada data terbaru, 78% peringatan kebakaran berasal dari Kabupaten Muaro Jambi (6541).

Kerusakan fatal yang disebabkan oleh bencana ini tidak hanya dapat diwakili dengan angka indeks polusi terukur dalam hitungan ppm (part per million). Permasalah mendasar adalah, karhutla seperti yang terjadi di Desa Mekar Sari dan Desa Seponjen, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi sudah mengganggu bahkan merusak keseimbangan ekologi Taman Hutan Raya (Tahura) yang berlokasi wilayah tersebut. Bagi penduduk yang tinggal di wilayah tersebut kualitas kesehatan terus menurun terutama penyakit ISPA yang dialami oleh balita.

Rusaknya lingkungan, hilangnya nyawa akibat bencana ‘Karhutla tahunan’ yang dialami oleh Indonesia termasuk kabut asap yang kemudian mengganggu wilayah Asia Tenggara dapat dikategorikan sebagai ekosida. Ekosida sendiri didefinisikan sebagai kejahatan yang merusak keanekaragaman hayati, rusaknya warisan kultural, hilangnya nyawa manusia, terganggunya mata pencaharian bahkan terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal.

Kerusakan lingkungan tersebut memberi efek domino pda manusia disekitarnya. Dalam sepuluh tahun terakhir BNPB merekam 424.648 penduduk Indonesia terpaksa mengungsi akibat karhutla, dan jumlah nyawa yang terenggut tidak sedikit. Berita terakhir pada 23 September, koran nasional mencatat seorang bayi berumur 3 hari meninggal akibat sesak napas di Pekanbaru, Riau.

Meskipun Perwakilan Bangsa Bangsa (PBB) belum memberi peluang bagi pengadilan atas kejahatan manusia yang kemudian menganggu prinsip keadilan lingkungan (environmental justice). Ecocide atau Ekosida diajukan oleh Perdana Mentri Swedia Olaf Palme pada tahun 1970-an akibat rusaknya lingkungan pada masa perang Vietnam dan pada 2017 Ekosida kemudian dikategorikan sebagai kejahatan oleh The Rome Statute pada pasal 8 ayat 2 ( Rome Statute of the International Criminal Court) memberi peluang bagi pelaku karhutla untuk diadili.

Pemerintah daerah baik Provinsi Jambi dan Kabupaten Muaro Jambi sebenarnya tidak tinggal diam dalam menghadapi ancaman kebakaran hutan dan lahan, terbitnya Perda No. 2 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Perda ini terbit paska terjadinya kejadian kebakaran hutan dan lahan besar tahun 2015. Akan tetapi perundangan dan perangkat hukum yang ada belum memasukkan kategori ekosida pada pasal-pasalnya. Padahal, dengan memasukkan ekosida sebagai kategori kejahatan adalah salah satu cara memastikan tidak terulangnya lagi karhutla akibat aktivitas manusia dimasa mendatang.

Kotak Hitam Karhutla

Pada faktanya luasan hutan dunia terus meningkat dalam 35 tahun terakhir (2.24 juta km2), akan tetapi tetapi luas hutan di wilayah tropis terus menurun. Luasan lahan terbuka di dunia terus berkurang sejumlah 1.16 juta km2 karena konversi lahan menjadi perkebunan skala besar terutama di regional Asia. Fakta ini disajikan oleh artikel yang terbit pada jurnal Nature tahun 2018. Hasil studi itu juga menunjukkan bahwa konversi lahan memicu karhutla. Bila diliat persentase yang ada 60% disebabkan oleh aktivitas manusia dan 40% akibat dari pemanasan global. Ulah manusia adalah penyebab utama telah hilangnya ekosistem dengan keragaman hayati paling lengkap di dunia terutama pada ekosistem hutan hujan tropis (Song., dkk, 2018).

Meningkatnya perulangan karhutla di Indonesia tidak dapat dihindari meskipun dianggap telah melewati puncaknya tahun 2015. Masalah yang muncul adalah 43% karhutla berada di lahan gambut sehingga api menjalar dibawah tanah dan mencapai lapisan akumulasi karbon yang sudah terendam ribuan tahun. Situasi ini juga yang menyebabkan sulitnya proses pemadaman. Laporan per 5 September 2019 oleh the Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) secara global 4.7 gigaton karbon dioksida (CO2) karena karhutla telah dilepaskan ke astmosfer. Jumlah ini melebihi emisi tahunan Uni Eropa dan Jepang.

Pasca reformasi, pemerintah Indonesia telah mencoba menyelesaikan permasalahan karhutla selama 18 tahun. Presiden Joko Widodo misalnya menerapkan Moratorium Konversi Lahan gambut pada Oktober 2015 bersamaan dengan dibentuknya Badan restorasi Gambut (BRG), 2016. Selain itu pemerintah pusat memperkenalan kebijakan wilayah tanpa asap. Akan tetapi minimnya transparansi antar sektor selama hampir dua dekade dalam proses penerapan berbagai kebijakan menyebabkan Indonesia masih jauh dari tujuan meminimalkan karhutla (Tacconi,2016).

Di tingkat lokal masyarakat sendiri menyadari bahwa ada tiga kategori aktor yang melakukan pembakaran yang berakibat pada karhutla yaitu : perusahaan, elit lokal dan petani (Purnomo,dkk 2017). Relasi antar aktor ini menjadi rumit dan tidak dapat dihindari karena desakan ekonomi yang menyebabkan pihak-pihak tersebut mengesampingkan dampak ekologi. Sebagai contoh saat harga sawit sangat tinggi perusahaan membuka lahan baru. Pada saat itu elit lokal akan dilibatkan untuk mengumpulkan warga kemudian melakukan pembersihan lahan melalui pembakaran. Dengan biaya sembilan juta rupiah misalnya satu hektar lahan akan dibersihkan, 60% pembayaran perusahaan jatuh kepada elit lokal dan sisanya dibagikan kepada warga. Jaringan patron klien antara perusahaan dengan masyarakat adalah lingkaran yang perlu di putus.

Jika saat ini pemerintah melakukan pendekatan dengan perundangan yang membatasi aktivitas pembakaran hutan dan lahan, maka perlu melihat alternatif lain untuk memecahkan situasi ini. Yang kemudian terjadi adalah mmakin ketat perundangan, maka aktivitas swadaya masyarakat untuk berpartisipasi akan terus menurun. Terutama pada penerapan perundangan yang menganggu aktivitas mata pencaharian mereka.

Interaksi tim Ekologi Manusia dengan warga Kecamatan Kumpeh, masyarakat adat dan pemerintah daerah di propinsi Jambi menguak bahwa permasalahan mendasar penyebab karhutla sebenarnya lebih tepat ditempatkan berada pada ranah sosial- politik. Oleh sebab itu mempromosikan aktivitas untuk meninggalkan aktivitas monokultur bagi petani lokal melalui proses insentif-disensentif akan sangat bermanfaat. Bagi masyarakat adat, meninggalkan aktivitas monokultur pada saat yang sama akan mengembalikan kenaekaragaman hayati wilayah tinggal mereka,mengembalikan aset kultural, menjaga ketahanan pangan yang kemudian menjaga stabilitas ekonomi, dan meminimalkan risiko pembukaan lahan dengan metode membakar lahan. (AT)

Berikan komentar anda: